Sabtu, 07 Februari 2015

Mulutmu Harimaumu

Aku lupa pernah nulis ini atau belum. Semoga saja belum.

Aku teringat seseorang yang menjadi bagian cerita sehari-hariku beberapa tahun silam. Kalau perhitungan tahun, aku sudah mengenalnya selama kurang lebih 13 tahun. Lama juga ya? Baru sadar. Iya dia temanku sejak kami masih SD, ah sebut saja SD meski aku bukan bersekolah di SD.

Apa yang akan kuceritakan? Apa yang kuingat darinya? Memori tentangnya seolah kembali menyergapku secara bersamaan. Selalu seperti ini setiap kali liburan. Ku kira sudah sepenuhnya aku melupakan dia, nyatanya? Pada kenyataannya aku sadar yang namanya kenangan tidak bisa dibuang seperti sampah begitu saja. Kenangan selalu melekat menemani perjalanan menuju masa depan.

Sudah-sudah, sepertinya aku terlalu lama basa-basi, terlalu banyak intro, pokoknya sungguh terlalu.

Well, kalian percaya enggak dengan kalimat "mulutmu harimaumu"? Sepertinya aku telah merasakan itu. Hemm... Aku ingat betula bagaimana aku menolak setiap kali orang-orang mengatakan bahwasanya aku dan dia adalah pasangan yang tidak terpisahkan, kemudian aku akan menjawab "dia bukan pasanganku, dia adalah musuhku. Kami musuh bebuyutan". Itu benar, waktu SD kelas 6 aku dan teman-teman sudah mulai memasang-masangkan anak laki-laki dan anak perempuan. Entahlah bercanda seperti ini teradaptasi dari mana.

"Ingat, aku dan dia adalah musuh. Musuh bebuyutan", percayalah terkadang orang berbicara tak sesuai dengan hatinya. Sebenarnya aku tak ingin menjadi musuh untuknya dan saat itu dia juga tidak pernah menganggapku sebagai musuh.

Bagaimana sekarang? Ya, sepertinya apa yang kuucapkan dulu benar-benar menjadi kenyataan. Sekarang kami tak pernah saling tegur sapa, saling berkomunikasi apalagi menanyakan kabar. Kami berdua sudah seperti orang asing satu sama lain. Membuang muka atau pura-pura tidak melihat ketika kami berpapasan, tidak ada senyum terlempar saat kedua pasang mata kami saling bertemu, ah jangankan berharap untuk ditanya kabar, untuk diberi senyum saja aku tak berani berharap.

Pertanyaan besar di benakku adalah "segitu bencinya dia padaku?". Andai dia tahu, tak pernah sedikit pun aku benar-benar membencinya. Tak pernah sedikit pun aku benar-benar menginginkan dia menjadi musuh bebuyutan dalam hidupku.

Siapa pun tolong beritahu dia, aku merindukannya untuk ke sekian kalinya. Aku rindu tertawa bersama dengannya, aku rindu akan senyum tulusnya, aku rindu akan keceriaannya, aku rindu semua yang ada pada dirinya. Dan yang terpenting adalah aku rindu menjadi temannya. Adakah dia tahu itu? Mungkinkah dia pernah memikirkan ini? Ah mana mungkin ya, dia kan sudah terlalu bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Mungkin namaku masuk ke dalam salah satu nama yang paling hindari.

Entahlah, aku tak paham. Aku hanya berharap suatu saat nanti kami menemukan titik balik, eh maksudnya titik temu yang membuat kami kembali berdamai dan kembali menjadi teman bahkan sahabat seperti dulu. Kalau pun tidak bisa, aku berharap tak ada lagi benci bahkan dendam di antara kita.

Percayalah sob, aku tak pernah benar-benar ingin kita menjadi musuh bebuyutan. Percayalah aku selalu tersenyum setiap kali mendengar kabar bahwa kau bahagia hari ini :)

Pelajaran buat gue:
Jangan ngomong sembarangan apalagi buat hal-hal negatif, karena mulutmu harimaumu, karena omongan adalah doa, dan karena semesta seolah mendukung apa yang dipikirkan bahkan dikatakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar