Sabtu, 28 Februari 2015

Untukmu

Hei kamu, iya kamu, benar itu dirimu, aku ingin berbicara sesuatu denganmu. Maaf, mungkin ini agak serius, tapi ini hanya akan kusampaikan satu kali.

Pernahkah kau tahu bahwa aku pernah menaruh perhatian lebih padamu?
Pernahkah kau sadar bahwa aku selalu bahagia kerap kali mendengarkan ocehan ocehan lugumu?
Pernahkah kau memperhatikanku yang selalu tersenyum setiap kali berada di dekatmu?
Aku yakin kau menyadari semua itu, sisi lainku beranggapan kalau kau telah lama mengetahui hal-hal yang kupertanyakan karena beberapa kali kau mengatakan padaku "lu seneng kan ada gue di sini?", lalu aku akan menjawab "tidak, janganlah terlalu percaya diri". Percayakah kalau kalimat itu hanya tersangkut di bibir dan tidak sampai di lubuk hati? Karena lubuk hatiku justru mengatakan sebaliknya.

Kemudian hari-hariku dipenuhi bunga-bunga olehmu. Kau membuatku merasa begitu berarti, membuatku tak lagi merasa kesepian di tengah keramaian. Ah apakah namanya perasaan seperti ini? Mungkinkah ini cinta? Atau hanya sekadar suka? Atau sebenarnya aku semakin penasaran dengan kepribadianmu? Entahlah. Aku memilih untuk let it flow, membiarkan waktu yang menjawab semuanya.

Kita bertemu lagi saat sedang olahraga, berharap aku dapat menguruskan badanku yang gempal ini dan bisa semakin dekat denganmu tentunya. Aku memang ngelunjak, maaf ya. Lalu salah satu sahabat kita mengatakan bahwa selama ini kau telah memiliki tambatan hati. Kau menutupi semua fakta ini, bahkan ketika kutanya langsung padamu kau mengatakan kalau dirimu masih sendiri. Lariku melemah saat itu. Apakah kau sadar? Seketika perutku sakit, kakiku lemas. Apakah kau sadar?

Tahukah kau mengapa aku berbuat seperti itu padamu? Coba jelaskan padaku bila kau mengerti. Hah, nampaknya kau bahkan tak peduli dengan apa yang terjadi padaku saat itu karena aku yakin yang ada di pikiranmu adalah "we are just friend, best friend".

"ciyeee", dengan berat hati aku mengatakan hal itu padamu. Aku tak ingin terlihat berubah di depanmu, aku pun mencoba mengontrol perasaanku. Memang tidak seharusnya aku memiliki rasa lebih because we're just friend and I know it.

Aku mencoba mencairkan suasana, melawan keras dengan apa yang kupikirkan meski ada sedikit usikan yang kurasa. Kau hanya tersenyum, namun senyummu saat itu sungguh menyayat. Senyummu mematikan, sepertinya itu bukanlah senyum yang ingin kulihat.

Oh baiklah... Aku sudah mengerti, ini cara Yang Berkuasa untuk memberitahu kepadaku bahwa kau bukanlah seseorang yang harus kuperjuangkan.

Aku menyerah sebelum berperang karena aku tak memiliki senjata. Aku berjuang untuk meyakinkan hatiku sendiri bahwa ini bukan cinta, ini hanyalah rasa sesaat yang terus hilang. Aku mencoba menghentikan langkahku, mengambil sikap untuk menjauh beberapa waktu darimu.

Apakah kau tahu semua itu? Bisakah kau merasakannya?

Minggu, 08 Februari 2015

Tentang privasi

"Gue berhak enggak menjawab dari pertanyaan lu kan?", itu kata seorang anak berumur 19 tahun waktu itu, dia temanku.

Sepertinya aku harus mulai menerapkannya. Ah entah gue yang terlalu kepo atau apa ya. Hari ini ada orang yang tiba-tiba nyapa gue dan menceritakan sesuatu, lalu ketika kutanya dia malah menjawab "ah enggak ah". Aku berpikir, "lho, ini orang niat cerita atau enggak sih, kenapa harus buat orang lain penasaran dengan cerita setengah-setengahnya?". Aku juga jadi berpikir mungkin dia belum sepenuhnya percaya padaku, karena aku pun sadar kepercayaan itu mahal harganya.

Throwback ke percakapan beberapa hari lalu. Dia (orang yang cerita) mengatakan seperti ini "kok lu enggak pernah cerita ke gue? Kan kita temen curhat", emm mungkin jawabannya adalah aku belum bisa cerita karena dia juga belum sepenuhnya memercayaiku. Ah tapi itu kan hanya perspektifku saja, mungkin dia punya alasan lain.

Hari ini aku sadar, mungkin dia termasuk orang yg memilih untuk tidak menjawab pertanyaan dariku karena sifatnya yang terlalu pribadi. Baiklah aku mencoba untuk menghargai privasi itu.

Satu pelajaran hari ini:
Enggak perlu terlalu kepo untuk masalah orang lain, karena orang itu belum tentu mau menceritakan masalah pribadinya. Toh, kalau dia percaya pendengarnya bisa memberikan solusi terbaik dia juga akan cerita.

Sabtu, 07 Februari 2015

Mulutmu Harimaumu

Aku lupa pernah nulis ini atau belum. Semoga saja belum.

Aku teringat seseorang yang menjadi bagian cerita sehari-hariku beberapa tahun silam. Kalau perhitungan tahun, aku sudah mengenalnya selama kurang lebih 13 tahun. Lama juga ya? Baru sadar. Iya dia temanku sejak kami masih SD, ah sebut saja SD meski aku bukan bersekolah di SD.

Apa yang akan kuceritakan? Apa yang kuingat darinya? Memori tentangnya seolah kembali menyergapku secara bersamaan. Selalu seperti ini setiap kali liburan. Ku kira sudah sepenuhnya aku melupakan dia, nyatanya? Pada kenyataannya aku sadar yang namanya kenangan tidak bisa dibuang seperti sampah begitu saja. Kenangan selalu melekat menemani perjalanan menuju masa depan.

Sudah-sudah, sepertinya aku terlalu lama basa-basi, terlalu banyak intro, pokoknya sungguh terlalu.

Well, kalian percaya enggak dengan kalimat "mulutmu harimaumu"? Sepertinya aku telah merasakan itu. Hemm... Aku ingat betula bagaimana aku menolak setiap kali orang-orang mengatakan bahwasanya aku dan dia adalah pasangan yang tidak terpisahkan, kemudian aku akan menjawab "dia bukan pasanganku, dia adalah musuhku. Kami musuh bebuyutan". Itu benar, waktu SD kelas 6 aku dan teman-teman sudah mulai memasang-masangkan anak laki-laki dan anak perempuan. Entahlah bercanda seperti ini teradaptasi dari mana.

"Ingat, aku dan dia adalah musuh. Musuh bebuyutan", percayalah terkadang orang berbicara tak sesuai dengan hatinya. Sebenarnya aku tak ingin menjadi musuh untuknya dan saat itu dia juga tidak pernah menganggapku sebagai musuh.

Bagaimana sekarang? Ya, sepertinya apa yang kuucapkan dulu benar-benar menjadi kenyataan. Sekarang kami tak pernah saling tegur sapa, saling berkomunikasi apalagi menanyakan kabar. Kami berdua sudah seperti orang asing satu sama lain. Membuang muka atau pura-pura tidak melihat ketika kami berpapasan, tidak ada senyum terlempar saat kedua pasang mata kami saling bertemu, ah jangankan berharap untuk ditanya kabar, untuk diberi senyum saja aku tak berani berharap.

Pertanyaan besar di benakku adalah "segitu bencinya dia padaku?". Andai dia tahu, tak pernah sedikit pun aku benar-benar membencinya. Tak pernah sedikit pun aku benar-benar menginginkan dia menjadi musuh bebuyutan dalam hidupku.

Siapa pun tolong beritahu dia, aku merindukannya untuk ke sekian kalinya. Aku rindu tertawa bersama dengannya, aku rindu akan senyum tulusnya, aku rindu akan keceriaannya, aku rindu semua yang ada pada dirinya. Dan yang terpenting adalah aku rindu menjadi temannya. Adakah dia tahu itu? Mungkinkah dia pernah memikirkan ini? Ah mana mungkin ya, dia kan sudah terlalu bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Mungkin namaku masuk ke dalam salah satu nama yang paling hindari.

Entahlah, aku tak paham. Aku hanya berharap suatu saat nanti kami menemukan titik balik, eh maksudnya titik temu yang membuat kami kembali berdamai dan kembali menjadi teman bahkan sahabat seperti dulu. Kalau pun tidak bisa, aku berharap tak ada lagi benci bahkan dendam di antara kita.

Percayalah sob, aku tak pernah benar-benar ingin kita menjadi musuh bebuyutan. Percayalah aku selalu tersenyum setiap kali mendengar kabar bahwa kau bahagia hari ini :)

Pelajaran buat gue:
Jangan ngomong sembarangan apalagi buat hal-hal negatif, karena mulutmu harimaumu, karena omongan adalah doa, dan karena semesta seolah mendukung apa yang dipikirkan bahkan dikatakan.

Selasa, 03 Februari 2015

Masih Mengeluh?

Akhir-akhir ini banyak hal yang tidak kusadari telah membuatku sadar apa yang telah kulakukan selama ini adalah sebuah kesalahan besar.

MENGELUH

Ya, itu adalah hal yang sering kali melekat di diri ini, kali ini aku menyadari tak ada gunanya mengeluh yang ada hanya menambah beban dan rasa malas saja.

Cerita-cerita yang kubaca dan ku dengar akhir-akhir ini membuatku menyadari sesuatu, bersyukur adalah hal yang seharusnya kulakukan sejak lama. Aku masihlah lebih beruntung dari mereka, tapi kenapa aku seolah menunjukkan kelemahanku dengan mengeluh? Seolah masalahku adalah masalah yang terberat yang dialami makhluk hidup. Nyatanya apa? Masalah yang singgah di hidupku belumlah apa-apa bila dibandingkan dengan masalah orang lain. Perjuangan yang selama ini kuanggap melelahkan bisa dikatakan hanyalah seujung kuku dari perjuangan manusia lain di luar sana.

Sekali lagi aku mengerti akan kalimat " Allah tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan hamba-Nya". Ya dengan masalah sepele seperti ini saja terus menerus mengeluh bagaimana menghadapi masa depan yang pastinya akan ada masalah kehidupan yang lebih pelik lagi.

Untuk itu aku bertekad akan mengurangi keluhanku. Teringat akan sebuah kalimat dari seseorang, "enggak perlu mengeluh terua menerus, jalani saja terlebih dahulu. Saat kau yakin mampu menghadapinya maka semesta akan mendukung pikiran positif itu"

Terima kasih untuk kalian yang datang di kehidupanku, baik kenal secara langsung maupun tidak. Rupanya benar setiap orang di sekitar kehidupan kita memiliki porsinya masing-masing untuk memberikan pelajaran. So, I never regret to know you, thank you so much guys.

Jadi ingat tagline twitter seseorang "every one is teacher, every place is school" - BP