Jumat, 22 November 2013

Tahu Diri

Memandang langit senja yang menyemburatkan warna jingga khasnya, sepertinya di sana tenang tidak seperti di tempatku sekarang yang resah dan gelisah ditambah habis berpapasan dengan seseorang yang telah lama sengaja dijauhkan tak ingin bertemu. Melihat langit senja itu aku teringat sesuatu bahwa aku harus ke suatu tempat untuk berkonsultasi seputar masalah yang sedang kuhadapi saat ini.

Aku telah tiba di tempat yang ingin kutuju. Tak banyak berpikir aku langsung menanyakan hal-hal yang sudah membendung di kepalaku. "pernahkah kau jatuh cinta namun kau merasa itu adalah suatu keslahan?", tanyaku pada penghuni tempat itu.

"mengapa kau berpikir itu suatu kesalahan? Apa yang salah dengan teori cinta datang? Bahkan cinta tak pernah memilih kepada siapa ia akan menuju", jawabnya yang membuatku mengerutkan alis tak mengerti maksudnya.

"Kau tau aku menyukai seseorang, kau bayangkan saja sendiri bagaimana menjadi aku. Seseorang yang telah menyukai lawan jenisnya sejak awal pertemuan mereka bahkan di saat aku belum mengetahui namanya. Kurasa aku mulai gila", aku membenturkan kepalaku di lutut. Merasa frustasi dengan apa yang terjadi padaku.

"Apa kau yakin itu cinta? Lalu di mana letak kesalahannya jika memang kau jatuh cinta? Kurasa semua orang berhak mencintai dan dicintai", jawabnya.

"Aku mengerti, namun untuk meraih cinta itu kurasa teramat sulit bagiku. Aku bukanlah satu-satunya orang yang menyukai anak itu. Aku mematut diri di depan cermin kemudian aku menyadari bahwa tidak ada yang dapat kulakukan untuk dapat merebut hatinya. Paras, sudah pasti kalah jauh bila dibandingkan dengan yang lain yang juga menyukainya. Ah rasanya seperti pungguk merindukan bulan", kataku pesimis.

"Lalu kau ingin aku mengatakan apa? Memberi dukungan atau memintamu untuk berhenti mengejarnya?", kurasa ini bukanlah solusi.

"I need some solution for this problem. I think you can help me", jawabku sok inggris agar terdengar elegan.

"Kalau aku boleh memberi saran, aku akan memintamu untuk berhenti. Kau tak akan kuat menahan sakitnya patah hati. Lebih baik kau mundur sebelum bertanding, karena kau terlalu pesimis", ah aku tak mengerti

"Bagaimana kisahmu dengan dia? Sudah pernah bertemu lagi?", entah angin apa yang berhembus di otak sahabatku, tiba-tiba saja dia menanyai hal yang ingin kuhindari.

"Bertemu sih sudah padahal setiap hari aku mencoba menghindari pertemuan kami", jawabku. "Kemarin aku pergi ke suatu tempat dan berkonsultasi persoalan asmaraku ini. Dari sana aku mendapatkan pencerahan bahwa lebih baik aku mundur dari persaingan ini, persaingan mendapatkan hatinya", kulihat alis sahabatku mengerut tak mengerti dengan apa yang aku pikirkan.

"Tempat mana yang kau datangi?", tanyanya.

"Sebuah tempat yang dihuni seluruh perasaan manusia dan emosinya, tempat itu bernama hati", kali ini aku menjawabnya dengan tersenyum.

"Haha, kenapa kamu memilih untuk mundur? Ini namanya menyerah sebelum pertandingan dimulai", nasihatnya.

Aku sudah memikirkan kemungkinan terburuk bila persaingan ini tetap dilanjutkan. Cowok itu akan memilih satu di antara kami para penggemarnya dan menyakiti perasaan gadis lainnya yang tidak dipilih atau cowok itu tidak memilih siapa pun di antara kami.

"Aku sadar teman sainganku sangat menyukai dia bahkan dia sampai menangis ketika mendengar kabar cowok itu kecelakaan kecil. Aku tak sampai begitu, berarti perasaanku pada cowok itu belum sebesar perasaan gadis itu", dalam hati aku mengatakan bahwa sebenarnya aku takut menerima kenyataan karena aku tahu aku pasti ditolak karena tidak masuk kategori tipe gadis cowok itu lagipula aku masih memikirkan untuk meraih citaku yang lain.

"Sebagai sahabatmu aku hanya bisa mendukung penuh semua keputusanmu, semoga tidak ada penyesalan dalan setiap keputusan yang kamu ambil", katanya menutup introgasi hati hari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar